Jumat, 06 Maret 2009

optimalisasi potensi kader

Dunia kepemimpinan identik dengan dunianya para pemikir. Di sinilah kedewasaan cara pandang dan spontanitas sikap seorang pemimpin bermula. Di sebabkan kemampuannya berpikir besar seorang pemimpin menyejarah. Seluruh pemimpin dalam segala bidang mereka memiliki kemampuan ini; berpikir besar. Memang bukan hanya kecerdasan yang membuat “orang-orang besar” ini mampu menjadi pemikir tetapi banyak faktor lain. Jiwanya dipenuhi kesabaran, selalu penuh dengan harapan, progresif, optimis, berani dan berfokus kepada tujuan akhir. Inilah dasar utama untuk menjadi pemikir sekaligus pemimpin. Kesemua itu mengarah kepada satu bentuk kepribadian, yaitu karakter yang kuat.

Kemampuan berpikir para pemimpin terbentuk dari kecakapan ilmu pengetahuan dan wawasan yang luas. Hal itu terkorelasi dengan berbagai pengalaman hidup yang dialaminya serta berbagai eksperimen. Dua hal ini telah membentuknya memiliki kekuatan akal untuk memecahkan masalah-masalah besar yang membuat dirinya menjadi Hero. Namun ada sisi-sisi lain yang menjadikan orang gagal untuk menjadi pemimpin. Kesalahan itu salah satunya berangkat dari cara berpikir yang salah. Kesalahan berpikir yang paling banyak terjadi adalah berpikir regresif. Pertama, tidak pernah mencari akar permasalah pada sumber yang jelas. Kedua, sikap membeo kepada orang lain yang dianggap lebih pintar, kemudian mengkultusindividukannya. Pola berpikir seperti ini membawa kita kepada kejumudan. Padahal seharusnya perbedaan yang bersifat parsial disikapi dengan toleran.

Kebalikan dari pola berpikir regresif adalah berpikir progresif. Cara berpikir yang berpusat kepada pemecahan masalah. Dengan berpikir progresif kita membuka celah-celah lain yang sangat memungkinkan adanya perbaikan ke depan. Di sana ada pembelajaran tentang sikap toleran dalam menyikapi pendapat orang lain, serta sikap anti perpecahan. Berpikir progresif menuntun kita untuk bersikap optimis, inovatif sekaligus kreatif untuk mencari jalan pemecahan masalah. Sementara berpikir regresif mengajak kita takut melangkah, enggan mencari solusi permasalahan, dan sikap merasa benar sendiri. Bahkan lebih jauh lagi, tumbuhnya sikap ketidakterbukaan dan sentimental. Itu berarti sama dengan mengajak kita bersikap antipati. Sifat lain yang dekat dengan para pemikir progresif adalah ia akan menjadi orang yang kreatif. Kita sering mengira bahwa sikap kreatif identik dengan segala bentuk penemuan.

Meskipun Jangka waktu mahasiswa sebagai kelompok sosial dengan label khusus berlangsung relatif singkat, rata-rata 5 – 6 tahun saja. Akan tetapi dalam waktu inilah dilakukan kaderisasi agar dapat menciptakan mahasiswa yang memiliki kompetensi yang hampir sama bahkan mampu melakukan hal yang lebih inovatif dari pemimpin yang dijadikan sebagai patokan dalam meneruskan sebuah organisasi. Selain itu tingakat kritis selalu diperhatikan yang nantinya menjadi sarana untuk menilik dengan seksama apa yang nantinya akan menjadi keputusan yang berbasis merata. Inilah yang kemudian menjadi kerangka pikir mahasiswa yang akan digunakan sebagai acuan akan cara menjalankan organisasi agar dapat mengikuti para pelaku organisasi sebelum mereka.

Akan tetapi tidak semua mahasiswa memiliki kerangka pikir yang sama akan keberadaan organisasi yang ada sehingga sistem kader yang telah dicanangkan terkadang tidak dapat menyeluruh kepada mahasiswa. Hal ini terlihat dari beragam tawaran, bentuk dan model organisasi kampus dan ekstra kampus ternyata belum begitu membuat mahasiswa tertarik untuk bergabung, serta mengkonsentrasikan dirinya terhadap organisasi yang ada. Kurangnya minat mahasiswa ini tentu saja berpengaruh pada semakin sulitnya proses pengkaderan dan regenerasi.

Mentalitas mahasiswa yang kurang tertarik pada aktivitas organisasi, umumnya dikarenakan trauma, ingin selesai kuliah cepat, merelakan diri untuk memenuhi quota mahasiswa sebagai “status” kebanggaan, sebagian ada yang senang hura-hura, cukup dengan mendapatkan ijazah, ingin banyak teman, meskipun ilmu dan kapasitas intelektual yang jauh dari harapan tidaklah menjadi masalah. Padahal setiap masuk ke bangku kuliah hampir semua mahasiswa diingatkan, bahwa proses belajar formal di kampus hanya memberikan kurang dari 25% materi. Selebihnya 75% hanya bisa di dapatkan dari kegiatan ekstra kampus atau pergaulan sehari-hari, dengan barometer intelektualitas yang dimulai dari kecintaannya pada budaya akademik, yaitu membaca, meneliti, dan menulis serta berorganisasi.

Hal lain yang perlu menjadi perhatian, paradigma mahasiswa dimana organisasi mahasiswa tersubordinat dalam isu-isu politik praktis. Lebih lanjut pengaruh eksternal terbawa ke kampus dan secara tidak langsung menjadi hegemonic dan munculnya perseteruan. Hal ini menjadi salah satu sebab kurang menariknya sebuah organisasi untuk diikuti oleh mahasiswa. Sebenarnya perbedaan pandangan, pemahaman, atau cara berfikir bagi kalangan intelektual adalah hal yang lumrah terjadi dimana saja dan kapan saja. Suatu kesempatan dan waktu untuk segera menyelesaikannya, jangan sampai perbedaan, perseteruan dan saling mendiskreditkan antar kelompok ini semakin menambah ketidakpercayaan mahasiswa terhadap manfaat berorganisasi.

Inilah yang kemudian harus diperhatikan oleh para pelaku organisasi untuk mengubah paradigma yang kontra menjadi pro organisasi melalui proses kaderisasi yang nantinya juga akan berguna pada saat label khusus mahasiswa sudah tidak disandang lagi. Seperti yang dikatakan sebelumnya bahwa proses belajar formal di kampus hanya memberikan kurang dari 25% materi, selebihnya di dapatkan dari kegiatan organisasi kampus atau pergaulan sehari-hari. Oleh karenanya pemberian materi kader dalam membudayakan kerangka pikir yang regresif menjadi progresif sangat perlu dilakukan agar nantinya tidak hanya dapat diterapkan dalam organisasi kampus tetapi mampu memberikan sungbangsi kepada masyarakat yang akan kita jalani sebagai tenaga profesinal.

Oleh karena itu mahasiswa sebagai calom pemimpin harus berusaha untuk mewujudkan kebebasan berekspresi, berpendapat, dan berorganisasi agar nantinya mahasiswa mampu terbiasa dan tidak canggung lagi ketika berbaur dengan masyarakat. Kebutuhan akan kebebasan berekspresi, berpendapat, dan berorganisasi harus disadari merupakan kebutuhan massa mahasiswa, dalam memperluas, dan memperkuat perjuangan massa dalam menghadapi berbagai macam tekanan, dan pengaruh dari kapitalisasi pendidikan. Dengan mendorong kebebasan berekspresi, berpendapat dan berorganisasi maka upaya untuk mendapatkan kemenangan-kemenangan kecil dikampus.

Kemudian bagaimana system kader ini dirancang dan dilaksanakan. Tentunya ada rancangan yang maju baik levelan atau tingkatan termasuk bagaimana hal ini dibuat sesuai kebutuhan yang merupakan hasil dari analisa kondisi organisasi, kader dan karakter dari suatu organisasi. Unsur-unsur yang mendukung dan akan memudahkan pemahaman serta memajukan seperti sosial budaya yang positif bagi gerakan sebaiknya juga dimasukkan. Program harus dipersiapkan benar baik untuk memperkuat organisasi yang menjawab kebutuhan para kader penggerak organisasi dan bagaimana mempersiapkannya untuk memperluas struktur organisasi. Sampai pada tahapan penyiapan kader pada tahapan berikutnya (organisasi politik bila perlu). Maka perpaduan praktek dan teori sangatlah penting.
• Kaderisaisi. Perlunya mempersiapkan petugas dan kapasitasnya. Kekuatan personal ini harus dihitung, diidentifikasi, digali kekuatan-kekuatan dan kelemahan-kelemahan disesuaikan dengan setrategi dan taktik dan program organisasi untuk mencapai tujuan atau cita-cita organisasi baik jangka pendek, menengah dan jangka panjang. Yang harus diperhatikan adalah

1). Jumlah penggerak organisasi Perlu ada perbandingan antara jumlah anggota dan kader. Sebaiknya jaraknya jangan terlalu jauh misalkan 1:10 (1 kader membawahi 10 anggota).

2). Sebaran kader atau penggerak organisasi, penempatan kader disesuaikan dengan kebutuhan organisasi. Dalam targetan tertentu penugasan sebagai pengurus, perwakilan, organizer.

3). Bagaimana kapasitas dan pemahamannya terhadap organisasi secara menyeluruh. Tidak dapat dilepaskan dari manajemen organisasi. Pemahaman terhadap manajerial dalam mengelola sumber daya manusia dan sumber daya yang ada akan sangat menetukan kemajuan organisasi. Dalam hal ini kita dapat belajar didalam pabrik bagaimana sumberdaya manusia dan sumber daya yang ada diatur sedemikian rupa agar mendapatkan hasil produksi yang tinggi baik secara kuantitas maupun kualitas.

4). Kemudian bagaimana menjaga kader agar tigak tergelincir atau menjadi sesat seperti mayoritas serikat buruh saat ini. Tetap memegang prinsip dan cita-cita perjuangan, jangan hanya mementingkan karier politiknya atau mengikuti setting lawan (pengusaha) atau titipan penguasa.

5). Penugasan dan penempatan kader dilevel organisasi yang lebih tinggi, sekaligus memberi ruang pada kader-kader baru untuk dapat berpraktek dalam memimpin organisasi sesuai dengan kapasitas dan kebutuhan yang ada.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar